Syekh Jangkung a.k.a. Saridin |
Saridin yang memiliki nama lain Syekh Jangkung, merupakan salah satu tokoh yang berasal dari daerah Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Indonesia. Berikut ini merupakan hasil tulisan saya mengenai tokoh Saridin/Syekh Jangkung berdasarakan berbagai sumber yang saya rangkum baik dari internet maupun referensi lain yang telah saya baca. Selamat membaca dan berikanlah koreksi apabila terdapat kekurangan. Silahkan cantumkan sumber dai blog ini apabila anda mengutipnya. Terima kasih.
SARIDIN
Pada
zaman dahulu, di daerah Kudus tinggallah Kiai dan Nyai Gede Keringan bersama
seorang gadisnya bernama Ni Branjung. Setelah Ni Branjung tumbuh menjadi gadis
remaja yang molek, timbullah kerinduan Kiai Keringan hendak mengasuh seorang
anak lelaki yang tampan. Untuk. itulah
Kiai Keringan dan istrinya selalu bertafakur, memohon ridha Allah agar
dikabulkan keinginannya.
Berkat doanya yang khusyuk, pada suatu hari
ditemukanlah seorang bayi lelaki dengan perantaraan gaib Sunan Kudus yang
mengatakan bahwa sesungguhnya bayi itu adalah putra Sunan Muria, salah seorang
penyiar agama Islam yang sudah terkenal. Bayi itu berselimutkankain kemben yang berasal dari kain penutup
dada sang ibu.
“Asuhlah dengan bijak, agar kelak
menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan agama. Adapun kemben itu kelak
akan menjadi senjata yang ampuh untuk mengatasi setup bahaya yang
mengancamnya,” kata Sunan Kudus seperti dimimpikan oleh Kiai Gede Keringan.
Tentu saja Kiai dan Nyai Gede Keringan sangat
berbahagia dan berjanji akan melaksanakan amanat itu sebaik-baiknya. Sadar
bahwa mereka sendiri hanyalah orang desa, bersepakatlah untuk memberi nama sang Dengan penuh kasih sayang, suami istri
itu mendewasakan Ni Branjung dan Saridin sebagai kakak beradik hingga keduanya
berumah tangga.
Sepeninggal sang Kiai, Saridin dan
Ni Branjung hanya memperoleh harta warisan berupa sebatang pohon durian yang
selalu lebat buahnya. Selama bertahun-tahun mereka pun bersepakat membagi hasil
penjualan buah durian itu secara adil untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga
masing-masing. Akan tetapi, suami Ni Branjung merasa tak puas dan
ingin memiliki hasil sebanyakbanyaknya dari pohon itu. Pada suatu hari,
berkatalah dia kepada Saridin.
“Adikku, mulai sekarang kita
menjual durian itu sendirisendiri supaya tidak repot menghitungnya. Kamu
berhak menjual seluruh durian yang jatuh di siang hari, dan saga akan menjual
seluruh durian yang jatuh setiap malam.”
Mendengar tawaran itu, tahulah
Saridin akan keserakahan kakak iparnya; biasanya durian yang masak akan
berjatuhan di malam hari. Namun, Saridin dengan ikhlas menerima tawaran itu
karena dia pun yakin akan kebesaran dan keadilan Tuhan dalam membagikan
rezeki-Nya. Ujarnya dengan lembut, “Baiklah Kakak, kalau hal itu memang sudah
menjadi keinginanmu. Mulai besok aku sendiri akan memungut durian yang jatuh di
siang hari.”
Keikhlasan hati Saridin mendapatkan ridha Allah
sehingga banyaklah durian masak yang berjatuhan di siang hari. Hal itu
menjadikan panasnya hati suami Ni Branjung yang menyadari siasatnya tidak
berhasil. Selang beberapa waktu kemudian, datanglah suami Ni Branjung ke rumah
Saridin untuk bertukar waktu. Harapannya ialah memperoleh banyak durian yang
berjatuhan di siang hari. Akan tetapi, harapan itu justru menambah
kekecewaannya karena ternyata tak banyak durian masak yang jatuh di siang hari.
Pada suatu malam, timbullah niatnya
yang jahat. Dengan mengendap-endap dan berkerudung kain loreng, pergilah suami
Ni Branjung ke pohon durian itu. Setelah melihat datangnya Saridin maka
berteriaklah suami Ni Branjung menirukan auman harimau loreng dengan maksud
menakuti-nakuti Saridin. Namun, apakah yang terjadi?
Saridin yang terkejut tidak segera
berlari, malahan melepaskan senjata goloknya dengan tangkas sehingga tewaslah
suami Ni Branjung. Tentu saja kejadian itu menggegerkan banyak orang, dan
segera dilaporkan oleh punggawa desa kepada Adipati Pemantenan di Kadipaten
Pati.
Dalam persidangan di kadipaten,
diputuskan hukuman gantung bagi Saridin karena terbukti bersalah membunuh kakak
iparnya. Namun, Saridin membela diri dengan santun, “Ampun Kanjeng Adipati,
niat hamba tidaklah membunuh saudara hamba sendiri, tetapi membunuh seekor
harimau yang mengancam diri hamba. Oleh karena itu, hamba pun mohon dibebaskan
dari hukuman
itu. 11
Mendengar alasan itu, sang Adipati merasa ragu
hendak melaksanakan hukumannya. Namun, selaku seorang penguasa, sulitlah dia
mencabut keputusan itu. Kemudian, sang Adipati berkata dengan lembut, “Baiklah
Saridin, hukuman itu hanyalah sebuah tipuan yang berupa ayunan. Jadi, wajiblah kamu
menerimanya.”
Saridin percaya sepenuhnya pada
kata sang Adipati, padahal niat Adipati Pemantenan ialah melaksanakan hukuman
gantung itu dengan sesungguhnya demi kewibawaan seorang penguasa. Akan tetapi,
hukuman itu menjadikan banyak orang terheran-heran. Di matamereka, Saridin
justru tampak tersenyum-senyum di tiang gantungan seperti seorang bocah yang
sedang berayunayun.
Atas perintah sang Adipati, Saridin
dibatalkan dari hukuman gantung dan dimasukkan ke sebuah penjara yang kokoh
besi-besinya. Saridin pun menurut perintah itu sambil memohon sekali-sekali
diizinkan pulang menjenguk istrinya. Sekian hati kemudian, Saridin memohon
kesempatan pulang ke rumahnya. Akan tetapi, jangankan dibukakan pintu oleh para
sipir penjara, bahkan izin pun tidak diperolehnya. Sadarlah Saridin bahwa
dirinya telah tertipu.
Pada suatu malam yang sepi, Saridin
mengamalkan ilmu kesaktiannya sehingga terbebaslah dari rumah penjara itu tanpa
diketahui para penjaga yang selalu siaga setiap saat. Akan tetapi, lelaki itu
tidak langsung pulang ke rumahnya. Dalam perjalanan, terpikir olehnya hendak
berguru kepada Sunan Kudus yang saat itu sudah terkenal harum namanya sebagai
seorang penyiar Islam.
Di pesantren Sunan Kudus,
terkenallah Saridin yang sakti dengan tindakannya yang aneh-aneh, seperti
menimba air sumur dengan keranjang dan menyelinap ke dalam kakus. Hampir semua
tindakan Saridin menjadikan sedih dan susahnya Sunan Kudus yang sadar bahwa
kesaktian Saridin menimbulkan banyak huru-hara yang meresahkan orang banyak.
Pada suatu hati, berkatalah Sunan Kudus, “Hai, Saridin, engkau adalah muridku
yang gagah perkasa dan sakti. Tetapi, ketahuilah bahwa di sini bukan tempatnya
orang memamerkan kesombongannya. Kalau tidak mau berubah sikap, pergilah dari
pesantren ini.”
Mendengar nasihat itu, Saridin
tetap tak beranjak dari tempatnya sehingga diusirlah beramai-ramai oleh para
santri dan penduduk sekitarnya. Setelah merasa terdesak,barulah Saridin
terpaksa berlari sambil mengejek orangorang yang mengejarnya.
Ketika sampai di sebuah pasar, Saridin
terus saja’ berlari dan mengumpat-umpat sehingga mengejutkan orang-orang yang
melihatnya. Banyak perempuan di pasar itu yang segera bubar karena ketakutan.
Di antara mereka ada yang bertanya kepada Sunan Kudus, “Siapakah gerangan orang
gila yang mengganggu pasar itu, Kanjeng Sunan?”
“Siapa yang dimaksud? Apakah lelaki yang gagah
perkasa itu? Oh, dia bukan orang gila. Dia itu seorang muridku yang pandai dan
sakti. Sayang sekali, orangnya sombong dan nakal. Namanya Syekh Jangkung,
sedangkan aslinya entahlah. Dulu orang-orang memanggilnya Saridin. Biarlah dia
pergi, mudah-mudahan masih sempat menyadari kesalahannya.”
Orang pun kagum menyaksikan
kebesaran hati Sunan Kudus dan segera melupakan kenakalan-kenakalan Saridin
yang kemudian terkenal dengan sebutan Syekh Jangkung.
Kurang lengkap om
ReplyDeleteterima kasih koreksinya mas, ini hasil rangkuman tugas sewaktu kuliah, silahkan apabila ada koreksi sampaikan dalam komentar atu langsung kirim saja ke email saya iqomaf@gmail.com.
ReplyDeletemas, ijin share. saya asli kayen. salam kenal
Deleteaq pernah membaca dr blog lain, ceritanya hampir sama tp di blog lain mbah saridin berkarakter lugu, dan tidak ada karakter mengumpat, wallahu a'lam
ReplyDeleteMaaf, mencari sumber ini yang versi buku adakah?
ReplyDelete